-->

Friday 17 August 2018

Bupati Kudus Dituduh Terlibat Kasus Santet (1726)


BUPATI KUDUS DITUDUH TERLIBAT KASUS SANTET (1726)

Membunuh orang melalui santet atau guna-guna sudah sering kita dengar sejak jaman dahulu. Salah satu kasus yang pernah dikenal masyarakat di pulau Jawa pada tahun 1726 karena diduga melibatkan beberapa pejabat tinggi kerajaan adalah kasus seputar wafatnya Amangkurat IV, Raja yang memerintah kerajaan Mataram pada 1719-1926. Dan kebetulan yang menjadi salah satu tertuduh adalah Bupati Kudus waktu itu yang bernama Arya Jayasentika.

Sejak awal dinobatkan sebagai penguasa Mataram menggantikan Pakubuwono I, pemerintahan Amangkurat IV memang tidak pernah lepas dari gejolak pemberontakan dan perebutan kekuasaan. Pelakunya adalah saudara-saudaranya sendiri yaitu Pangeran Blitar dan Pangeran Purboyo yang didukung oleh paman mereka yaitu Pangeran Arya Mataram. Untuk mengatasi pemberontakan ini, Sunan Amangkurat IV meminta bantuan militer dari Kompeni. Menurut Daradjadi dalam bukunya Geger Pacinan, Pangeran Blitar terbunuh di dekat Kediri pada tahun 1721. Pangeran Arya Mataram dihukum mati di Jepara dengan cara dicekik. Sedangkan Pangeran Purboyo setelah tertangkap ditahan di Kastil Batavia.

Setelah pemberontakan tersebut, situasi di kerajaan Mataram belum bisa dikatakan stabil. Suasana saling curiga antar pejabat serta ketidaknyamanan akibat kedekatan keraton Mataram dengan Kompeni Belanda (VOC) menyebabkan situasi memanas. Dan puncaknya terjadi pada tahun 1726 ketika Sunan Amangkurat IV tiba-tiba menderita penyakit misterius yang menurut rumor diakibatkan racun dan santet oleh suatu persekongkolan yang menyebabkan wafatnya sang Raja.

Berikut menurut Daradjadi:

Sakit sang Raja diawali dengan rasa sakit di bagian perut yang sangat parah. Sang Raja curiga sakitnya tersebut disebabkan oleh seseorang yang tidak senang padanya baik melalui racun maupun kekuatan supranatural. Orang-orang yang pertama dicurigai adalah Patih Cakrajaya yang kemudian berganti nama menjadi Danureja. Kecurigaan yang kedua ditujukan kepada para Bupati Cakraningrat dari Madura dan Jayaningrat dari Pekalongan, Citrasoma dari Jepara, Puspanegara dari Batang, dan Arya Jayasentika dari Kudus.

Kemudian bagaimana penanganan kasus tersebut? Apakah mereka semua dijemput dan dibawa ke ibukota Kartasura untuk ditahan dan diperiksa? Ternyata tidak.

Rupanya sejak jaman dahulu sampai sekarang, urusan santet ini sulit dalam pembuktiannya. Meskipun ada perasaan curiga karena tokoh-tokoh yang disebutkan di atas sering berseberangan dengan Raja, namun rasa curiga saja tidak akan mampu menunjukkan dan membuktikan tuduhan yang dialamatkan kepada mereka.

Pada akhirnya kasus ini diselesaikan dengan cara meminta para Bupati yang dicurigai untuk bersumpah. Para Bupati yang menjadi tertuduh termasuk Bupati Arya Jayasentika dari Kudus kemudian menanggapi dengan membuat surat yang menyatakan dirinya tidak tahu menahu mengenai penyebaB sakitnya sang Raja dan bersumpah bahwa tidak pernah meminta pertolongan dukun untuk mempengaruhi keputusan Raja.

Sunan Amangkurat IV kemudian tidak pernah sembuh dari sakitnya dan akhirnya wafat. Beliau digantikan oleh putranya yang bergelar Sunan Pakubuwono II.





Sitemap

Thursday 16 August 2018

Undangan Pernikahan Unik ala Kudus


TONJOKAN – UNDANGAN PERNIKAHAN UNIK ALA ORANG KUDUS

Bagi Anda yang sedang mencari ide desain undangan pernikahan, sedang merancang kartu undangan, atau memesan dan mencetak kartu undangan pernikahan Anda, atau sedang bingung bagaimana cara mengirimkan undangan pernikahan, maka tonjokan yang merupakan tradisi mengirimkan undangan pernikahan ala masyarakat Kudus dapat menjadi alternatif undangan unik untuk pernikahan Anda.

Tonjokan sendiri bagi sebagian orang bisa berarti tinju atau pukulan yang menyakitkan. Namun bagi masyarakat Kudus yang masih menerapkan tradisi ini, Tonjokan merupakan cara elegan untuk menyampaikan undangan ketika mengadakan hajatan seperti pernikahan dan khitanan.

Jadi, seperti apa sih bentuk tonjokan yang menjadi undangan pernikahan unik khas masyarakat kabupaten Kudus?

Tonjokan sebenarnya adalah kiriman bingkisan makanan yang umumnya terdiri dari nasi lengkap dengan lauknya beserta jajan pasar. Sehingga bisa dibilang mirip dengan nasi berkat yang biasa kita terima jika sedang ada slametan atau tasyakuran. Namun yang unik, di dalam kotak disisipi selembar kertas putih berisi undangan untuk menghadiri pernikahan atau khitanan (tergantung tujuan yang punya hajat). Ini tentu berbeda dengan kebiasaan masyarakat Jakarta dan kota-kota besar lainnya yang hanya mengirimkan undangan pernikahan berupa kartu.


nasi tradisi tonjokan undangan pernikahan unik ala masyarakat kudus
Nasi tonjokan yang saya terima baru-baru ini. Terlihat selembar kertas undangan di dalamnya

Pada umumnya tonjokan dilaksanakan sekitar tiga hari sebelum hari H pernikahan. Pada H-3 tersebut, keluarga yang sedang punya hajat biasanya sedang sibuk-sibuknya. Mereka akan mengundang ibu-ibu tetangga dekat untuk rewang membantu memasak serta mengirimkan bingkisan nasi tonjokan kepada tetangga, kerabat serta kenalan yang akan diundang. Apakah harus H-3? Ya nggak harus sih. Cuma kalau rentang waktunya terlalu jauh, bisa-bisa yang diundang malah lupa datang.

Bagi orang yang menerima undangan melalui tonjokan ini mau tidak mau merasa wajib hadir di acara tersebut. Lha wong sudah menikmati kiriman nasi lengkap dengan lauk pauknya kok masih tega-teganya gak datang haha... Kan jadi gak enak dihati rasanya.

Maka tradisi tonjokan bisa dikatakan sebagai upaya mengamankan tamu undangan agar mereka merasa wajib hadir. Selain itu jika dirunut ke belakang masih erat kaitannya dengan ajaran agama Islam yang menganjurkan untuk banyak shodaqoh sebagai salah satu sarana penarik rizqi sehingga lebih baik memberi dari pada menerima dan juga kata pepatah barang siapa menabur benih akan mendapat panenan, panenan amplop sumbangan alias angpau tentunya.

Oya, jangkauan pengiriman undangan ala tonjokan kadang tidak tanggung-tanggung loh. Tidak hanya terbatas pada orang sekampung. Jika kebetulan yang punya hajat memiliki kenalan atau kerabat di desa lain atau kecamatan yang lain, selama memungkinkan dan kendaraan untuk itu tersedia, maka pengiriman akan tetap dilakukan.

Nah, unik bukan cara orang Kudus mengirimkan undangan pernikahan? Dari pada kita menghabiskan dana hanya untuk mencetak undangan dengan desain wah agar terkesan mewah yang kemudian selesai acara berakhir menjadi tumpukan sampah kertas, lebih baik kita jadikan tradisi tonjokan ala masyarakat Kudus ini sebagai cara alternatif mengirimkan undangan. Yang dikirimi undangan akan senang karena perut kenyang, pihak pengundang juga merasa tenang karena tamu undangan beserta angpau pasti datang

Thursday 2 August 2018

Makam Bupati Kudus Tempo Dulu


KRAA TJONDRONEGORO III – BUPATI KUDUS TEMPO DULU


Jika Anda memiliki minat dengan sejarah maka tempat yang satu ini layak untuk dikunjungi. Di Kabupaten Kudus, tepatnya di Jl. RM Sosrokartono terdapat kompleks pemakaman yang bernama SEDOMUKTI yang menjadi tempat peristirahatan terakhir bupati Kudus sebelum kemerdekaan, yaitu KRAA Tjondronegoro III beserta keluarga dan keturunannya.

Kompleks pemakaman seluas dua hektar ini berada di seberang Taman Makam Pahlawan Kudus dan dikelilingi tembok tinggi berwarna kelabu yang memisahkannya dengan pemukiman warga sekitar. Setelah melewati gerbang kita akan dipandu menuju gapura mirip pintu candi yang terbuat dari bata merah yang direkatkan tanpa adukan semen. Kompleks makam sangat terawat serta tampak asri dan rindang karena naungan pohon-pohon besar yang menambah kesan mistis dan kuno.

makam bupati kudus, bupati kudus tempo dulu, bupati kudus masa kolonial, bupati kudus jaman penjajahan belanda, tjonddronegoro III bupati kudus
Penulis beserta keluarga di depan gapura makam Sedomukti
Berdasarkan catatan sejarah, KRAA Tjondronegoro III adalah bupati Kabupaten Pati tahun 1810 – 1830 serta bupati Kudus tahun 1825 – 1834. Jika melihat pada masa jabatan tersebut, dapat disimpulkan beliau pernah melakukan rangkap jabatan sebagai bupati Pati sekaligus bupati Kudus.

Keluarga Tjondronegoro termasuk pionir kaum terpelajar Jawa pada masa kolonial Belanda dan terkenal sebagai keluarga yang suka mencari ilmu pengetahuan. Tercatat beberapa nama besar yang berasal dari keluarga ini, antara lain putra Tjondronegoro III yaitu Pangeran Ario Tjondronegoro IV, serta cucu dari Tjondronegoro IV yaitu RM Sosrokartono dan RA Kartini.

makam bupati kudus, bupati kudus tempo dulu, bupati kudus masa kolonial, bupati kudus jaman belanda, tjondronegoro III bupati kudus
Deretan makam di Pesarean Sedomukti
Tampak di latar belakang adalah cungkup makam para bupati dari keluarga Tjondronegoro

RM Sosrokartono dikenal sebagai manusia jenius yang setidaknya menguasai 25 bahasa sehingga pernah melalang buana di Eropa sebagai wartawan perang pada masa Perang Dunia I. Ketika wafat beliau juga dimakamkan di kompleks pemakaman SEDOMUKTI. Makamnya berada di sisi paling timur dan sering dikunjungi peziarah dari luar kota.

Sedangkan RA Kartini, adik Sosrokartono lebih kita kenal sebagai pejuang emansipasi yang mempelopori pendidikan dan persamaan derajat bagi kaum wanita.

Meskipun terkesan eksklusif dan menyendiri dari keramaian karena merupakan makam keluarga, kompleks makam SEDOMUKTI sebenarnya terbuka untuk umum. Jika Anda datang berkunjung dan kebetulan menemukan pintu gerbang terkunci, Anda dapat menghubungi bapak H. Sunarto yang sudah 27 tahun dengan setia merawat dan menjadi juru kunci makam. Rumahnya mudah ditemukan karena berada tepat di seberang gerbang makam dan hanya dipisahkan sungai kecil.



TERBARU

Kudus Murah Karena Pelit?

KUDUS ADALAH KOTA TERMURAH DI INDONESIA KARENA ORANG KUDUS PELIT? Bisa dikatakan Kudus adalah kota dengan biaya hidup termurah dan paling ...