-->

Wednesday 8 November 2017

Lontong Tahu Kudus

Selain Lentog Tanjung, di Kudus juga ada Lontong Tahu yang harganya sama-sama merakyat. Potongan lontong, ditambah irisan tahu goreng yang masih hangat, rajangan kol dan taburan toge, disiram saus bumbu kacang. Anda juga bisa minta tambahan telur dan gimbal udang jika kebetulan uang di dompet Anda sedang tebal. Jika tidak suka lontong, Anda bisa menggantinya dengan seporsi nasi hangat yang disajikan di atas piring beralaskan daun pisang.
Pedagang Lontong Tahu Kudus umumnya berjualan di malam hari sehingga kuliner kudus yang satu ini cocok disantap bersama keluarga sambil menikmati suasana malam di kota Kudus. Mereka mudah ditemukan di tepi jalan-jalan protokol. Bermodal gerobak dan tikar yang digelar di emperan toko yang telah tutup sehingga pembeli dapat menikmati lezatnya Lontong Tahu sambil duduk lesehan.
Pertama kali menyantap Lontong Tahu Kudus, seketika mengingatkan saya pada Lontong Tahu Gimbal yang berasal dari Semarang. Rasanya mirip, bahkan nyaris tak ada bedanya, bagaikan saudara kembar. Mungkin karena jarak Semarang-Kudus yang tidak terlalu jauh, maka kulinernya bisa saling mempengaruhi.
Yang membedakan dengan saudaranya di Semarang adalah dari segi penamaan dan penyajiannya. Kalau di Semarang, ketika kita duduk dan pesan satu porsi, maka otomatis langsung disuguhi sepiring lontong, tahu, telur goreng dan gimbal udang, sesuai dengan judul jualannya: Lontong Tahu Gimbal. Sedangkan jika kita pesan Lontong Tahu Kudus, akan ditanya dulu oleh penjualnya, mau ditambah telur dan gimbal udang atau tidak? Karena sajian porsi standarnya adalah lontong dan tahu, sedangkan telur dan gimbal udang adalah opsi pilihan pembeli. Jadi kalau dipikir-pikir, Lontong Tahu Kudus ini adalah versi paket hemat dari Lontong Tahu Gimbal Semarang hehehe....
Istri saya yang kelahiran Kudus menjelaskan, ada kemungkinan ini terjadi karena kondisi ekonomi masyarakat Kudus pada jaman dahulu yang masih serba kekurangan. Di satu sisi mereka ingin rekreasi  menikmati sensasi makan diluar rumah bersama keluarga, namun di sisi lain apa daya kantong tak mampu. Akhirnya muncul ide untuk menampilkan makanan versi paket hemat ini.
Hmmm.....penjelasan yang memang masuk akal. Apalagi tahu identik dengan makanan murah meriah dan merakyat. Sedangkan telur dan gimbal udang, adalah makanan ndoro priyayi karena harganya tidak terjangkau orang kebanyakan.
Iseng-iseng, saya kemudian melakukan usaha reka ulang sejarah. Saya menduga, jauh di masa lalu, pada jaman dahulu, ada seorang pedagang Tahu Gimbal asli Semarang memutuskan hijrah ke Kudus. Sampai di kota ini, pedagang tersebut frustasi karena jualannya tidak laku, sebab bagi orang Kudus jaman itu, harga telur dan gimbal udang tidak terjangkau. Akhirnya demi menyesuaikan dengan kondisi pasar, dia lalu membuat paket hemat Lontong Tahu. Dan ternyata laris manis.
Atau, bisa saja yang terjadi justru sebaliknya. Ada orang Kudus yang melancong ke Semarang. Di kota ini dia sempat mencicipi Lontong Tahu Gimbal yang lezat. Kemudian ketika kembali ke Kudus, pelancong ini berusaha membuat Lontong Tahu Gimbal untuk keluarga dan sanak saudaranya. Namun apa daya, telur dan udang sulit didapat, kalaupun ada harganya selangit. Akhirnya yang disajikan adalah makanan Lontong Tahu yang juga lezat tapi minus telur dan gimbal udang.
Ini semua hanya iseng-iseng rekaan saya lho. Mungkin perlu penelitian mendalam dari ahli sejarah tentang hal ini.
Bagaimanapun juga, saat ini Lontong Tahu adalah bagian dari kuliner kota Kudus yang tak terpisahkan dengan masyarakat Kudus. Rasa Lontong Tahu Kudus yang lezat dan harganya yang merakyat, sangat cocok disantap bersama keluarga sambil menikmati suasana Kudus di waktu malam.

Saturday 4 November 2017

Asal-usul desa Prambatan dan Mitos Kematian Beruntun

Asal-usul desa Prambatan, Prambatan Lor dan Prambatan Kidul

Asal-usul desa Prambatan, Prambatan Lor dan Prambatan Kidul kecamatan Kaliwungu kabupaten Kudus adalah peristiwa kematian beruntun yang sering terjadi atau merambat sehingga diberi nama desa Prambatan.

Ini adalah versi lain asal-usul desa Prambatan Kudus. Jika selama ini nama Prambatan selalu dikaitkan dengan tokoh Ratu Kalinyamat dan suaminya Pangeran Hadirin. Sang Pangeran harus berjalan sambil merambat akibat luka yang dideritanya karena diserang Aryo Penangsang.

Terkait:

Asal-usul nama Prambatan dan terbunuhnya Pangeran Hadirin

Pangeran Hadirin suami Ratu Kalinyamat

Namun, ada versi lain tentang asal-usul desa Prambatan, yaitu mitos kematian beruntun yang sering terjadi di desa Prambatan yang bisa jadi adalah alasan asal-usul nama desa Prambatan yang sebenarnya.

MITOS KEMATIAN BERUNTUN DI PRAMBATAN KUDUS


Saya tadinya tidak percaya dengan apa yang diungkapkan istri saya yang asli kelahiran desa Prambatan Lor. "Coba ayah perhatiin," katanya. "Di desa Prambatan sini, kalau ada satu saja orang meninggal, maka bisa dipastikan selang sehari atau dua hari kemudian bakal ada yang menyusul. Pernah kejadian dalam seminggu ada empat orang sekaligus yang meninggal."

Sebagai orang yang percaya bahwa jodoh, rejeki, dan kematian setiap makhluk sudah ditetapkan Allah SWT, itu semua saya anggap angin lalu. Kan bisa jadi semua itu hanya kebetulan. Kebetulan pas jatah umurnya habis, kok ya pas berdomisili di desa ini. Bisa jadi juga karena faktor tingkat kepadatan penduduk. Karena penduduk bertambah banyak, maka ketika ada yang meninggal seakan-akan waktu kematiannya berurutan. Jadi paling itu hanya bisa-bisanya orang sini saja yang pakai ilmu gathuk, lalu memupuknya hingga jadi mitos.

Namun setelah lama tinggal di Prambatan saya jadi sering mengalami dan melihat sendiri bagaimana malaikat maut bisa menjemput secara berenteng. Misal pagi ini si A meninggal kemudian dimakamkan, kemudian tiba-tiba sorenya diumumkan lewat masjid dan musholla kalau ganti si B yang meninggal, padahal rumahnya tidak jauh dari si A. Besok paginya ganti mbah C yang tinggal di Rt sebelah diumumkan menyusul ke alam barzakh. Sehingga pernah suatu saat pengurus Rt tempat saya tinggal mengeluh sulit meminjam tratag untuk tetangga yang wafat karena
semalam sudah "keduluan" dipakai orang yang juga wafat di Rt sebelah.

Tapi tidak beruntun terus tanpa berhenti lho ya, kalau begitu terus bisa habis penduduk Prambatan dalam waktu singkat karena "dijemput" semua. Jika sudah tiga atau empat orang meninggal secara beruntun, biasanya lamaaa sekali tidak ada kabar duka. Nanti, ketika beberapa bulan kemudian ada yang meninggal, maka dia seakan menjadi pembuka jalan bagi tetangganya untuk ikut menyusul. Sehingga kalau saya rasakan seperti membentuk semacam pola teratur.

Yang menurut saya terlihat mencolok adalah peristiwa dalam seminggu terakhir sebelum artikel ini ditulis (6 Nop 2017). Di gang belakang masjid Nurul Haq, Prambatan Kidul, sebelumnya ada seorang anak berusia dua tahun meninggal. Kemudian dalam hitungan hari, mulailah yang lain ikut menyusul. Sehingga kalau kita menyusuri gang tersebut dari arah jalan raya, dalam satu garis lurus, akan terlihat beberapa tratag (tenda) yang didirikan sebagai penanda keluarga pemilik rumah sedang mengalami musibah kematian. Bayangkan itu dalam satu jalan lurus dan jarak antar rumah yang sedang kena musibah hanya sekitar 50-100 meteran.

Saya yang tadinya acuh tak acuh, jadi terpengaruh juga dengan fenomena ini. Bahkan punya pengalaman mistis tersendiri. Jadi ceritanya, saya punya kebiasaan membaca sebelum tidur. Suatu malam karena terlalu asyik membaca, jam sudah menunjukkan waktu mendekati tengah malam. Lalu terjadilah sesuatu yang tidak biasa, suara ayam berkokok terdengar bersahut-sahutan, mungkin sekitar satu menit. Itu jelas tidak lumrah, karena umumnya ayam berkokok menjelang subuh. Kemudian esok paginya, ba'da subuh, diumumkan di masjid kalau si D meninggal dunia jam 1 pagi dinihari. Bisa jadi peristiwa ayam berkokok itu pertanda kalau ada "jemputan", atau bisa juga sebenarnya itu teriakan minta tolong para ayam karena ada maling ayam hahaha....

Yang jelas buat saya, tidak perlu sampai menjadikan fenomena ini menjadi mitos. Sampai saat ini saya masih punya pedoman bahwa rejeki, jodoh dan mati sudah ditetapkan. Bahwa kok bisa ada fenomena meninggal berantai seperti ini, ya itu kita serahkan kembali kepada Allah SWT. Yang penting bagi kita yang belum mendapat giliran adalah selalu berbuat baik dan menambah bekal pahala agar siap kalau tiba waktunya.

Tapi, mari kita pikirkan sekali lagi. Jangan-jangan mengapa wilayah ini dinamakan Prambatan bukan karena Pangeran Hadirin yang harus jalan sambil merambat, melainkan karena fenomena kematian beruntun atau merambat.

Demikian versi lain asal-usul munculnya desa Prambatan, Prambatan Lor dan Prambatan Kidul. Semoga dapat bermanfaat menambah kekayaan cerita legenda dan mitos di Prambatan dan Kabupaten Kudus.

Friday 3 November 2017

Lentog Tanjung Kuliner Kudus

Lentog Tanjung adalah kuliner Kudus yang menjadi makanan khas Kudus dan termasuk makanan murah lezat dengan harga merakyat. Lentog Tanjung berasal dari desa Tanjung Karang, Kecamatan Jati, Kudus. Lentog Tanjung adalah menu pilihan nikmat untuk sarapan di Kudus dan mudah ditemukan di seluruh pelosok Kudus.

LENTOG TANJUNG


Setiap daerah memiliki kuliner yang disajikan untuk sarapan. Lentog Tanjung adalah sarapan khas yang berasal dari desa Tanjung Karang, Kecamatan Jati, Kabupaten Kudus. Jika Jakarta memiliki nasi uduk dan nasi ulam sebagai menu sarapan yang gampang ditemui, maka Kudus juga memiliki Lentog Tanjung.

Lentog Tanjung sarapan khas Kudus
Lentog termasuk salah satu makanan favorit keluarga kami untuk sarapan di hari libur dan akhir pekan. Sajian ini terdiri dari lentog (lontong ukuran besar yang kemudian dipotong-potong), semur tahu, dan sayur lodeh. Sayur lodehnya mantap, karena dicampur tempe yang hampir busuk, atau istilah Kudusnya tempe wayu.

Jika ingin pedas, bisa ditambah cabai rawit atau sambal yang tersedia di meja. Sebagai pelengkap teman makan lentog, ada bakwan goreng, sate usus, sate telur puyuh dan kerupuk.

Rasa lentog ini memang khas dan sepertinya sulit ditiru. Istri saya pernah mencoba membuat sendiri di rumah berdasar resep yang beredar di internet, namun rasa dan teksturnya tidak bisa sama dengan yang dijual di warung-warung pinggir jalan.

Oya, menurut cerita, lentog ini berasal dari desa Tanjung Karang di Kecamatan Jati dan awalnya hanya dijual di daerah tersebut. Namun saat ini lentog bisa ditemui di hampir seluruh penjuru kota Kudus, mulai dari pusat kota sampai ke pinggiran. Kalau saya amati, bagi orang Kudus, lentog lebih populer dari pada soto Kudus dan sate kerbau. Mungkin karena harganya yang merakyat.

Saya tidak tau apakah semua penjual lentog saat ini semuanya berasal dari desa Tanjung Karang atau bukan. Namun, suatu siang di atas angkot dalam perjalanan menuju Terminal Jati, saya bertemu beberapa ibu penjual lentog yang akan pulang ke desa Tanjung. Mereka berkisah, kalau setiap pagi berangkat ke lokasi berjualan di tengah kota, dan ketika siang pulang kembali ke desa Tanjung.

Beberapa tetangga saya mengatakan kalau lentog yang paling enak adalah lentog tanjung Pak Toha yang hanya bisa ditemui di daerah Jati dan tidak buka cabang di tempat lain.

Nah, suatu saat ketika saya dan istri sedang belanja di pasar tiban dekat pabrik Djarum desa Gribig, kami melihat penjual lentog yang memajang nama lentog Pak Toha. Meski ragu itu warung lentog Pak Toha asli atau palsu (karena konon tidak buka cabang), kamipun sepakat mencoba. Rasanya memang maknyuss, beda dengan lentog yang pernah kami rasakan di tempat lain. Ketika ngobrol dengan penjualnya, dia mengaku kalau punya hubungan cucu dengan Pak Toha.

Meski demikian, sampai saat ini, warung lentog yang paling sering kami kunjungi adalah warung bu Maslikhah, di seberang jalan dekat Masjid Nurul Haq, Prambatan Kidul. Kalau dari arah alun-alun, lokasinya ada di sebelah kiri jalan setelah SPBU Prambatan.

Pertimbangannya selain kami cocok dengan rasanya, juga cuma 5 menit dari rumah. Putri kecil saya, Rara, yang berusia 4 tahun, sanggup menghabiskan seporsi lentog untuk dia sendiri kalau makan di sini.

Harga lentog di warung bu Maslikhah hanya empat ribu rupiah per porsi. Masih murah bukan?

Mau mencoba Lentog Tanjung Kudus? Silahkan datang dan mencicipi sendiri ya...

Baca juga :


Wednesday 1 November 2017

Kudus Kota Dengan Biaya Hidup Paling Rendah di Indonesia

INGIN CEPAT KAYA? Ayo kerja, hidup dan tinggal di Kudus sebab biaya hidup di kota Kudus rendah. Hal ini berdasarkan hasil Survei Biaya Hidup yang dilakukan Badan Pusat Statistik pada tahun 2016 yang menempatkan kota Kudus sebagai kota dengan biaya hidup terendah ke dua setelah Banyuwangi. 

KUDUS KOTA DENGAN BIAYA HIDUP TERMURAH DI INDONESIA


Saya pribadi sebagai pendatang baru di kota Kudus sependapat dengan hasil survei tersebut.

Saya dan keluarga menetap di Kudus sejak bulan Juni 2016 setelah sebelumnya boyongan dari Depok, Jawa Barat. Sebagai pendatang, saya sering takjub dengan harga makanan di Kudus yang menurut saya super murah.

Sebagai contoh, pada hari pertama kami di Kudus, kami sarapan dengan menu nasi pecel di warung dekat rumah. Saya dan istri makan nasi pecel dua porsi, gorengan enam potong, dan teh manis hangat dua gelas, ditambah kerupuk. Selesai makan, saya sudah mempersiapkan selembar lima puluh ribuan untuk membayar makanan. Karena di warung solo langganan kami di dekat kampus Gunadharma Kelapa Dua Depok, paling tidak harga nasi pecel Rp 9.000,00 per porsi, belum minum dan gorengan.

Tapiiii setelah di hitung ibu pemilik warung, untuk semua yang sudah kami santap, kami hanya perlu membayar Rp 13.000,00 saudara-saudara...

Sebagai perbandingan yang lain adalah harga ikan dan sayur mayur di pasar. Tempat belanja favorit istri saya adalah pasar Jember dan pasar tiban di depan pabrik rokok Djarum di Gribig. Di kedua tempat itu,  tempe yang panjangnya sekitar 30cm, harganya tiga ribu rupiah, kangkung ikatan besar, cukup ditebus seribu lima ratus rupiah. Selain itu hanya dengan selembar sepuluh ribuan, kita bisa mendapatkan empat potong ikan segar. Sudah harganya murah, kadang para pedagang masih bermurah hati memberi bonus beberapa butir tomat, timun, atau tambahan ikan. 

Pasar Jember Kudus

Kalau ditanya alasannya, biasanya para pedagang itu menjawab dari pada tidak laku terus busuk, lebih baik dibagikan sebagai bonus untuk pembeli. Lebih bermanfaat, bikin pelanggan balik lagi, plus menambah berkah buat usahanya.

Baca juga: Harga di Kudus murah karena Orang Kudus pelit

Seingat saya, ketika di Depok, istri selalu cerita kalau harga bayam seikat kecil dua ribu rupiah dan isi tiap ikatnya juga sedikit. Sehingga agar bisa menyajikan sayur yang layak, setidaknya harus beli 5 ikat. Mau tidak mau pengeluaran harian di Depok memang besar.

Jadi, kalau mau hitung-hitungan perbandingan biaya hidup. Berdasarkan pengalaman kami, waktu masih tinggal di Depok, untuk makan tiga kali sehari bagi kami sekeluarga yang terdiri tiga orang (saya, istri dan putri kecil kami) paling tidak dibutuhkan Rp 100.000,00/hari atau sekitar tiga juta rupiah sebulan. Sedangkan selama di Kudus, pengeluaran belanja untuk makan per hari hanya Rp 30.000,00 sampai Rp 50.000,00 atau sembilan ratus ribu sampai satu setengah juta per bulan. Jauh sekali kan perbedaannya?

Memang tidak semuanya murah. Tentu saja untuk harga elektronik, pakaian, dan jenis makanan cepat saji harganya tidak beda jauh dengan di Jakarta. Semua tergantung pada gaya hidup dan lokasi di mana barang itu dibeli. Kalau kita beli nasi pecel di food court dalam mall atau resto, pasti harganya mahal juga kan?

Tapi bagaimanapun juga, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, kota Kudus tetaplah kota yang ramah buat kantong dan dompet.

So, bagi pembaca sekalian yang sudah merasa berat dengan beban biaya hidup di wilayah Jabodetabek dan mulai sumpek dengan suasana ibu kota yang sering macet, tidak ada salahnya mulai melirik daerah terutama kota Kudus sebagai alternatif tempat tinggal. Mumpung biaya hidup di kota Kudus masih murah.

Baca juga:
Tradisi Balen Saat Bayi Lahir

TERBARU

Kudus Murah Karena Pelit?

KUDUS ADALAH KOTA TERMURAH DI INDONESIA KARENA ORANG KUDUS PELIT? Bisa dikatakan Kudus adalah kota dengan biaya hidup termurah dan paling ...